Sejak lama sampai lebih dari 5 dekade pengelolaan hutan di Indonesia memiliki orientasi yang berbeda-beda. Pada fase awal, hutan dijadikan sebagai andalan utama penghasil devisa negara. Pada fase selanjutnya,
orientasi pemanfaatan hutan mulai memperhatikan unsur kelestarian dengan tetap menjadikan hasil hutan sebagai penghasil devisa. Saat ini, orientasi pengelolaan hutan lebih mengutamakan aspek konservasi, dengan mengutamakan eksistensi masyarakat di sekitar hutan agar kelestarian hutan terjaga dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
orientasi pemanfaatan hutan mulai memperhatikan unsur kelestarian dengan tetap menjadikan hasil hutan sebagai penghasil devisa. Saat ini, orientasi pengelolaan hutan lebih mengutamakan aspek konservasi, dengan mengutamakan eksistensi masyarakat di sekitar hutan agar kelestarian hutan terjaga dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
Namun demikian, fakta di lapangan menujukkan bahwa kerusakan hutan terus terjadi, baik disebabkan oleh perubahan fungsi hutan, kebakaran hutan, serta kerusakan yang ditimbulkan oleh aktifitas pemanfaatan hasil hutan secara illegal dan tidak terkendali. Berdasarkan data dan hasil analisis Kementerian Kehutanan, pada periode 1985 – 1997 telah terjadi laju deforestasi di Indonesia seluas 1,8 juta ha/tahun, lalu meningkat pada periode 1997 – 2000 sebesar 2,8 juta ha/tahun, dan menurun kembali pada periode 2000 – 2005 sebesar 1,08 juta ha/tahun (Kemenhut, 2011).
Salah satu penyebab tingginya laju deforestrasi (kerusakan) hutan di Indonesia adalah kemiskinan yang masih melanda sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Sebab selama ini masyarakat di sekitar hutan masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses permodalan baik dari perbankan maupun LSM. Akibatnya, mereka justru memanfaatkan hasil hutan dengan jalan ilegal seperti mencuri kayu untuk mencukupi kebutuhan hidup sehar-hari sampai pada klaim kepemilikan lahan pada kawasan hutan.
Dewasa ini, kesenjangan pertumbuhan ekonomi, tidak meratanya akses dan manfaat pembangunan ekonomi, kemiskinan, kekurangan pangan, dan pengangguran adalah fakta sehari-hari di kehidupan masyarakat dunia. Begitu juga yang terjadi di Indonesia. Perbedaan dalam lingkup sosial ekonomi ini antara lain menjadi pemicu bagi masyarakat untuk berlomba-lomba mencari sumber-sumber yang ada di alam untuk meningkatkan status sosialnya selain dari niat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri.
Pemerintahan Desa sebagai strata pemerintahan terkecil berkewajiban menyelenggarakan pemerintahan desa yang berkualitas untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, sekaligus meningkatkan kualitas hidup di desa. Pemerintahan desa memainkan peranan yang sangat sentral dalam agenda pembangunan nasional dimana sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di pedesaan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai manifestasi keseriusan pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sampai pada strata pemerintahan paling bawah. Melalui Undang-Undang Desa, penyelenggara pemerintahan desa diharapkan dapat mengelola wilayahnya secara mandiri termasuk di dalamnya pengelolaan aset, keuangan dan pendapatan desa.
Beberapa tujuan pengaturan pemerintahan desa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Desa antara lain, membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab, meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum, memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional, dan memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan.
Dalam rangka menyongsong penerapan Undang-Undang Desa tersebut, Balai Diklat Kehutanan Makassar dalam hal ini Seksi Sarana dan Evaluasi Diklat yang menangani pengelolaan hutan diklat Tabo-Tabo melaksanakan kegiatan survey sosial ekonomi masyarakat Desa Tabo-Tabo, dimana hutan diklat Tabo-Tabo sebagai bagian dari Desa Tabo-Tabo memberikan sumbangsih bagi desa dalam menyiapkan database sosial ekonomi masyarakat dalam membuat perencanaan untuk menyongsong penerapan Undang-Undang Desa, sedangkan untuk pengelolaan hutan diklat, database tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan diklat dalam rangka kegiatan pemberdyaan masyarakat, kegiatan praktek peserta diklat maupun kegiatan penelitian di hutan diklat
0 comments:
Post a Comment